Beragama Maslahat: Pengaruh Spiritual dan Kemajuan Sosial Ekonomi

Bagikan Berita Ini

Beragama Maslaha
Beragama Maslahat: Pengaruh Spiritual dan Kemajuan Sosial Ekonomi.Tajuk tersebut diangkat dalam Kajian Etika dan Peradaban ke-26 Paramadina Institute for Ethics and Civilizations (PIEC). Diselenggarakan di Hotel Ambhara, Jakarta, Rabu (27/3)

 

JAKARTA , – Negara yang paling mampu membuat warganya bahagia, populasi di negara itu cenderung menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan mereka jika diukur dari religiosity index dan bahkan menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan.

Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, M.A., Peneliti di bidang Ilmu Sosial, Budaya dan kajian agama BRIN dalam Kajian Etika dan Peradaban ke-26 Paramadina Institute for Ethics and Civilizations (PIEC). Yang bertajuk “Beragama Maslahat: Pengaruh Spiritual dan Kemajuan Sosial Ekonomi”.

Acara diselenggarakan di Hotel Ambhara, Jakarta, Rabu (27/3/2024).  Dimoderatori oleh Dr. Ica Wulansari (Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Paramadina).

Najib berpandangan bahwa di negara yang masyarakatnya didominasi oleh mayoritas beragama dan menyatakan agama merupakan sesuatu yang penting cenderung pemerintahannya korup. “Maka dari itu agama dikaitkan dengan perekonomian, pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya. Sehingga dengan ini ada korelasi atau ke bersinggungan antara agama dan kehidupan” tegasnya.

 

Beragama Maslahat: Pengaruh Spiritual dan Kemajuan Sosial Ekonomi

 

Di beberapa daerah, pembangunan sekolah yang terpinggirkan, tidak dilakukan oleh pemerintah. Biasanya dilakukan oleh ormas keagamaan, diantaranya dari Muhammadiyah, NU dan lain sebagainya.

Ia juga memberikan contoh bahwa Uni Emirat Arab dan negara Islam lainnya di kawasan Timur Tengah saat ini memiliki kenaikan perekonomian dan juga seimbang dengan nilai keagamaannya. “Ini merupakan potret dari kesuksesan di akhirat, merupakan hasil dari kesuksesan di dunia” imbuhnya.

“Makna Min Atsaris Sujud tidak bisa dalam bentuk fisik seperti diri kita, seharusnya dari dalam diri, lalu doktrin Al-Ma’un di mana kita bisa hidup dengan nyaman dan membiarkan kaum miskin, sakit dan lain sebagainya hidup di sekitar. Sudah seharusnya kita dapat saling membantu satu sama lain.” tambah Prof. Ahmad Najib.

Pipip A. Rifai Hasan, Ph.D. (Ketua PIEC) mengungkapkan satu paradoks kontroversi antara agama dan etika sangat menarik perhatian. “Sebagai contoh bahwa dalam agama-agama di India mempraktikkan ajaran etika untuk berlaku secara etis dalam pekerjaan. Tetapi korupsi, penyuapan, nepotisme sangat merajalela.” Ungkapnya.

Kegairahan agama yang sangat kuat di India, banyak berlaku di Indonesia juga. Contoh mudahnya saat Pemilu Februari 2024 lalu.

“Religuitas dan spiritualitas berbasis agama bisa mendukung perilaku yang tidak etis, kemudian bisa mempengaruhi cara seseorang dalam bersikap terhadap lingkungan kerja” kata Pipip.

“Tiap individu yang berperilaku tidak sesuai dengan etika keagamaan yang diklaim, bisa jadi dilakukan karena eksternal. Seperti halnya di Indonesia, korupsi tersebut bukan dilakukan oleh orang yang tidak memiliki uang. Tetapi korupsi dilakukan karena keserakahan dari orang yang melakukan tindakan tersebut” tuturnya.

(red)

Ikuti perkembangan berita terbaru Reportase Jabar Satu di Google News 


Bagikan Berita Ini
Array

Berita Terkait